Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana

Di dalam hukum acara pidana pembuktian merupakan titik sentral di dalam pemeriksaan perkara di pengadilan. Hal ini karena melalui tahapan pembuktian inilah terjadi suatu proses, cara, perbuatan membuktikan untuk menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa terhadap suatu perkara pidana di dalam sidang pengadilan[1]. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan[2].

Pembuktian adalah kegiatan membuktikan, dimana membuktikan berarti memperlihatkan bukti-bukti yang ada, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakkan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan[3]. Secara konkret, Adami Chazawi menyatakan, bahwa dari pemahaman tentang arti pembuktian di sidang pengadilan, sesungguhnya kegiatan pembuktian dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu:

  1. Bagian kegiatan pengungkapan fakta
  2. Bagian pekerjaan penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan hukum.

Di dalam bagian pengungkapan fakta, alat-alat bukti diajukan ke muka sidang oleh Jaksa Penuntut Umum dan Penasehat Hukum atau atas kebijakan majelis hakim untuk diperiksa kebenarannya. Proses pembuktian bagian pertama ini akan berakhir pada saat ketua majelis mengucapkan secara lisan bahwa pemeriksaan terhadap perkara  dinyatakan selesai (Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP). Setelah bagian kegiatan pengungkapan fakta telah selesai, maka selanjutnya Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum, dan majelis hakim melakukan penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan hukum. Oleh Jaksa Penuntut Umum pembuktian dalam arti kedua ini dilakukannya dalam surat tuntutannya (requisitoir). Bagi Penasehat Hukum pembuktiannya dilakukan dalam nota pembelaan (peledooi), dan akan dibahas majelis hakim dalam putusan akhir (vonnis) yang dibuatnya[4].

Pembuktian ini menjadi penting apabila suatu perkara tindak pidana telah memasuki tahap penuntutan di depan sidang pengadilan. Tujuan adanya pembuktian ini adalah untuk membuktikan apakah terdakwa benar bersalah atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

Secara Teoretis terdapat empat teori mengenai sistem pembuktian yaitu:

  1. Sistem pembuktian menurut Undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijs theorie)

Menurut teori ini, sistem pembuktian positif bergantung pada alat-alat bukti sebagaimana disebut secara limitatif dalam undang-undang. Singkatnya, undang-undang telah menentukan tentang adanya alat-alat bukti mana yang dapat dipakai hakim, cara bagaimana hakim menggunakannya, kekuatan alat bukti tersebut dan bagaimana hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili. Jadi jika alat-alat bukti tersebut digunakan sesuai dengan undang-undang maka hakim mesti menentukan terdakwa bersalah walaupun hakim berkeyakinan bahwa terdakwa tidak bersalah.[5])

Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi. Teori ini terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut oleh undang-undang. Teori pembuktian ini ditolak juga oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di Indonesia, karena katanya bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.[6])

  1. Sistem pembuktian menurut keyakinan hakim melulu (conviction intime)

Pada sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim, hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan. Melalui sistem “Conviction Intime”, kesalahan terdakwa bergantung kepada keyakinan belaka sehingga hakim tidak terikat pada suatu peraturan. Dengan demikian, putusan hakim dapat terasa nuansa subjektifnya.[7])

Disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu, diperlukan bagaimanapun juga keyakinan hakim sendiri. Bertolak pangkal pada pemikiran itulah, maka teori berdasarkan keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada keyakian hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Sistem ini memberi kebebasan hakim yang terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Di samping itu, terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan.[8])

  1. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alas an yang logis (Laconviction Raisonnee)

Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu.[9])

Keyakinan hakim tetap memegang peranan penting untuk menentukan kesalahan terdakwa, tetapi penerapan keyakinan  hakim tersebut dilakukan dengan selektif dalam arti keyakinan hakim dibatasi dengan harus didukung oleh alasan-alasan jelas dan rasional dalam mengambil keputusan.[10])

Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrije bewijstheorie)

Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu in terpecah kedua jurusan. Yang pertama yang tersebut di atas yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raisonnee) dan yang kedua ialah teori pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewcijstheorie).

Persamaan antara keduanya ialah keduanya sama berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakirn bahwa is bersalah.

Perbedaannya ialah bahwa yang tersebut pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan kepada  undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan  hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan  pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan. Sedangkan yang kedua berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang, tetapi hat itu harus diikuti dengan

keyakinan hakim.[11])

  1. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie)

Pada prinsipnya, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana tehadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut. [12])

Di dalam membuktikan apakah terdakwa bersalah atau tidak dalam suatu perkara pidana, menurut Lilik Mulyadi KUHAP di Indonesia menganut sitem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Di dalam sitem pembuktian menurut undang-undang secara negatif ( negatief wettelijke bewujs theorie) terdapat unsur dominan berupa sekurang-kurangnya dua alat bukti sedangkan unsur keyakinan hakim hanya merupakan unsur pelengkap[13]. Jadi dalam menentukan apakah orang yang didakwakan tersebut bersalah atau tidak, haruslah kesalahannya dapat dibuktikan paling sedikit dengan dua jenis alat bukti seperti yang tertuang di dalam KUHAP pasal 183 “ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurng-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya”.  Alat bukti yang sah dalam KUHAP Pasal 184 ayat (1) undang-undang yaitu:

a. keterangan saksi,

b. keterangan ahli,

c.  surat,

d. petunjuk, dan

e. keterangan terdakwa.

Menurut Yahya Harahap hanya alat bukti yang mencapai batas minimal yang memiliki nilai kekuatan pembuktian untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Apabila alat bukti tidak mencapai sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dalam KUHAP, maka pelanggaran itu dengan sendirinya menyampingkan standar Beyond a reasonable doubt (patokan penerapan standar terbukti sevara sah dan meyakinkan) dan pemidanaan yang dijatukan dapat dianggap sewenang-wenang[14].

Ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana, perihal pembuktian merupakan hal yang sangat determinan bagi setiap pihak yang terlibat secara langsung dalam proses pemeriksaan perkara pidana, khususnya dalam hal menilai terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa[15]. Dalam hal pembuktian ini keterangan korban merupakan hal yang sangat penting, dimana korban adalah mereka yang menderita secara jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita[16].

  1. Alat Bukti Keterangan Saksi

Keterangan saksi dalam pasal 1 angka 27 KUHAP adalah suatu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya. Menurut ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, memberi batasan pengertian keterangan saksi dalam kapasitasnya sebagai alat bukti, adalah “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.”

Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.[17])

Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the degree of evidence” keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya, agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut.[18])

  1. Harus mengucapkan sumpah atau janji.

Hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP, dan hal ini sudah panjang lebar diuraikan dalam ruang lingkup pemeriksaan saksi. Menurut ketentuan Pasal 160 ayat (3), sebelum saksi memberi keterangan: “wajib mengucapkan” sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji:

  1. dilakukan menurut cara agamanya masing-masing,
  2. lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya. Pada prinsipnya sumpah atau janji wajib diucapkan sebelum saksi memberi keterangan. Akan tetapi, Pasal 160 ayat (4) memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan. Dengan dernikian, saat pengucapan sumpah atau janji:

1)   pada prinsipnya wajib diucapkan “sebelum” saksi memberi keterangan,

2)   tapi dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan, sumpah atau janji dapat diucapkan “sesudah” saksi memberi keterangan.

Mengenai saksi yang menolak mengucapkan stunpah atau janji, sudah diterangkan, yakni terhadap saksi yang menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji tanpa alasan yang sah:

  1. dapat dikenakan sandera,
  2. penyanderaan dilakukan berdasar “penetapan” hakim ketua sidang,
  3. penyanderaan dalam hal seperti ini paling lama empat belas hari (Pasal 161 KUHAP).
  4. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti.

Tidak semua keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 angka 27 KUHAP:

  1. yang saksi lihat sendiri,
  2. saksi dengar sendiri,
  3. dan saksi alami sendiri,
  4. serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

Dari penegasan bunyi Pasal 1 angka 27 KUHAP dihubungkan dengan bunyi penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, dapat ditarik kesimpulan:

  1. setiap keterangan saksi di luar apa yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau di luar yang dilihat atau dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar pendengaran, penglihatan,  atau pengalaman sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang terjadi, “tidak  dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti”. Keterangan semacam itu tidak  mempunyai kekuatan nilai pembuktian,
  2. testimonium de auditu” atau keterangan saksi yang ia peroleh sebagai hasil pendengaran dari orang lain, “tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti”. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulangan dari apa yang didengarnya dari orang lain, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti.
  3.  “pendapat” atau “rekaan” yang saksi peroleh dari hasil pemikiran, bukan merupakan keterangan saksi. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (5) KUHAP. Oleh karena itu, setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus dikesampingkan dari pernbuktian dalarn membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna pendapat dan pemikiran pribadi saksi, tidak dapat dinilai sebagai alat bukti.
  4. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan.

Agar supaya keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus yang “dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal ini sesuai dengan penegasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Kalau begitu, keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri atau dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa pidana, baru dapat bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan itu saksi nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan yang dinyatakan di luar sidang pengadilan (outside the court) bukan alat bukti, tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

  1. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup.

Hal ini terdapat pada prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Supaya keterangan saksi dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti. Keterangan seorang saksi saja, baru bernilai sebagai satu alat bukti yang harus ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lain. Jadi, bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, atau “unus testis nullus testis“.

Persyaratan yang dikehendaki oleh Pasal 185 ayat (2)  KUHAP adalah:

  1. untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh “dua orang saksi”,
  2. atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian tunggal itu harus “dicukupi” atau “ditambah” dengan salah satu alat bukti yang lain.

Selanjutnya, dalam praktik agar keterangan saksi mempunyai nilai pembuktian pada dasarnya keterangan saksi tersebut haruslah memenuhi:[19])

  1. Syarat Formal

Perihal syarat formal ini dalam praktik asasnya bahwa keterangan saksi harus diberikan dengan di bawah sumpah/janji menurut cara agamanya masing-masing bahwa ia akan memberi keterangan sebenarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya (Pasal 160 ayat (3) KUHAP). [20])

Apabila keterangan seorang saksi tanpa sumpah meskipun sesuai satu sama lain bukanlah merupakan alat bukti. Akan tetapi, jikalau keterangan tersebut selaras dengan saksi atas sumpah, keterangannya dapat dipergunakan sebagai alat bukti sah yang lain (Pasal 185 ayat (7) KUHAP). [21])

Asas “Unus testis nullus testis” yang terdapat dalam Pasal 185 ayat (2) yaitu:

“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Isi pasal ini menjelaskan bahwa satu alat bukti tidak dapat membuktikan bahwa terdakwa bersalah.

  1. Syarat Materiel

Perihal syarat materiel dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1 angka 27 jo Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang ditentukan bahwa:

Pasal 1 angka 27 KUHAP

“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dan pengetahuannya itu.”

Pasal 185 ayat (1) KUHAP “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”.

Dengan demikian, jelaslah sudah terhadap pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dan hasil pemikiran saja dan beredar di luar persidangan, bukan merupakan keterangan saksi (Pasal 185 ayat (5) KUHAP).

Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi menurut ketentuan Pasal 185 ayat (6) KUHAP, Hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan aspek-aspek: [22])

  1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
  2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain;
  3. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu ;
  4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

Hasil Pencarian Anda:
1. sistem pembuktian berdasarkan keyakinan melulu
2. pembuktian dalam hukum acara pidana
3. cara pembuktian dalam pidana
4. melakukan pembuktian pada persidangan
5. pembuktian jaksa dalam hukum acara pidana
6. dilakukan penangguhan hukum acara pidana
7. cara pembuktian dalam hukum acara pidana
8. alat bukti pidana sesuai dengan pasal 184 ayat 1 kuhap
9. pasal hakim keyakinan hakim dan 2 alat bukti
10. metode pembuktian suatu perkara persidangan
11. kekuatan pembuktian dalam hukum acara pidana
12. alat bukti surat dalam acara pidana
13. acara pembuktian
14. pembuktian di pengadilan dalam hukum pidana
15. makna pembuktian dalam hukum acara pidana
16. pengertian pembuktian surat dalam hukum acara pidana
17. tujuan pembuktian dalam kuhap
18. 4 macam teori untuk membuktikan kesalahan terdakwa di depan sidang pengadilan dalam hukum acara pidana
19. 4 macam teori untuk membuktikan kesalahan terdakwa di depan sidang pengadilan
20. pengertian pembuktian
21. mengapa kuhap memberi batasan terhadap sumber alat bukti petunjuk

2 Comments

  1. saya sangat tertarik sekali untuk belajar hukum seperti yang anda lakukan sekaran.


Comments RSS TrackBack Identifier URI

Leave a comment